01
JulUniversitas IBA Palembang Tuntut Netralitas Negara dalam Pesta Demokrasi
Universitas IBA menyikapi situasi politik terkini dengan menuntut netralitas negara dalam Pemilu 2024.
kompas.id. Rektor Universitas IBA Palembang Tarech Rasyid saat memimpin pembacaan ”Petisi Bumi Sriwijaya Kampus Kebangsaan Religius bertema Menyelamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Berkeadilan, dan Bermartabat” di halaman Universitas IBA, Rabu (7/2/2024). Setelah bergema di sejumlah perguruan tinggi, terutama di Pulau Jawa, gelombang seruan kampus yang prihatin dengan kondisi politik, etika, dan demokrasi di Tanah Air akhirnya tiba di Palembang, Sumatera Selatan.
PALEMBANG, KOMPAS — Setelah bergema di sejumlah perguruan tinggi, terutama di Pulau Jawa, gelombang seruan kampus yang prihatin dengan kondisi politik, etika, dan demokrasi di Tanah Air juga menjalar di Palembang, Sumatera Selatan. Universitas IBA Palembang menuntut komitmen dan sikap netral dari penyelenggara negara dalam pelaksanaan Pemilihan Umum 2024.
Universitas IBA adalah perguruan tinggi swasta di Palembang. Universitas IBA didirikan oleh Yayasan IBA pada 1 November 1986. Yayasan IBA adalah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas/kejuruan sejak 6 November 1960. Yayasan itu didirikan konglomerat asal Desa Tambang Rambang, Ogan Ilir, yang berjuluk ”Raja Tanker era Orde Lama” Bajumi Wahab dan istrinya, Sajidah alias Ida Bajumi, pada 1 September 1959. Rektor Universitas IBA Tarech Rasyid saat memimpin pembacaan ”Petisi Bumi Sriwijaya Kampus Kebangsaan Religius bertema Menyelamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Berkeadilan, dan Bermartabat” di halaman Universitas IBA, Rabu (7/2/2024), mengatakan, pihaknya turut prihatin menyaksikan kondisi kehidupan berbangsa, bernegara, dan berdemokrasi saat ini.
Hal itu menimbulkan gelombang seruan dari sejumlah guru besar ataupun akademisi kampus yang gusar karena melihat dan mendengar praktik-praktik pengabaian etika, moral, dan nilai-nilai Pancasila, serta pelanggaran terhadap norma konstitusi. Namun, kaum intelektual itu justru dituding atau dituduh sebagai partisan. Ia menilai seruan dari guru besar ataupun akademisi kampus itu bertolak dari realitas yang meresahkan dan menggelisahkan di tengah kontestasi calon presiden-calon wakil presiden dalam Pemilu 2024. Hal itu tecermin dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI-2023 yang diduga manipulatif.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membuktikan bahwa putusan itu melanggar etika. Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga menyebutkan bahwa ketua dan enam anggota KPU melanggar etik saat menerapkan putusan MK tersebut. Kondisi itu, ujar Tarech, dinilai tidak lepas dari upaya memuluskan jalan anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden yang berpasangan dengan Prabowo Subianto. ”Situasi itu diperparah oleh sikap Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa presiden boleh berkampanye ataupun berpihak,” ujarnya.
Berita lebih lanjut : Berita selengkapnya