• Selamat datang di Website Universitas IBA Palembang
11
Jul

Wahiduddin Adams Bahas MK dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Wahiduddin Adams Bahas MK dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia


PALEMBANG, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi pemateri dalam kuliah umum bertema “Kedudukan Konstitusi dalam Bernegara” di Ruang Seminar Fakultas Hukum Universitas IBA (FH UIBA), Palembang, Sumatera Selatan, pada Sabtu (25/6/2022) pagi. Wahiduddin hadir secara langsung di UIBA didampingi Kepala Bagian Humas dan Kerjasama Dalam Negeri Fajar Laksono. Kegiatan ini merupakan kerjasama  antara Mahkamah Konstitusi dengan FH UIBA.


Pada kesempatan ini, Wahiduddin menyampaikan materi mengenai Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Wahiduddin mengatakan, sebelum adanya perubahan, Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Namun setelah adanya perubahan, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.


Wahiduddin menerangkan setelah perubahan UUD 1945 tidak ada lagi pengelompokan lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Hal itu karena kedudukan setiap lembaga negara ditentukan oleh fungsi dan wewenang yang diberikan oleh UUD 1945.


“Masing-masing lembaga negara saling mengawasi dan saling mengimbangi (check and balances),” ujar Wahiduddin di hadapan Rektor UIBA Tarech Rasyid, Dekan FH UIBA Erniwati serta para mahasiswa baik secara daring maupun luring.


Lebih lanjut Wahiduddin mengatakan, kebutuhan akan adanya mekanisme judicial review makin lama kian terasa. Kebutuhan tersebut baru bisa dipenuhi setelah terjadi reformasi yang membuahkan perubahan UUD 1945 dalam empat tahap. Pada perubahan ketiga UUD 1945, dirumuskanlah Pasal 24C yang memuat ketentuan tentang MK. Untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang MK. 


Wahiduddin pun menjelaskan kewenangan MK yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilu, dan MK Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945. Di samping kewenangan di atas, lanjutnya, MK memiliki kewenangan tambahan, yakni memutus perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan gubernur, bupati dan walikota.


Kemudian, sambung Wahiduddin, pada Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 terkait pengujian materiil Pasal 236C UU Nomor 12 Tahun 2008 yang pada pokoknya menyatakan MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah selama belum ada UU yang mengatur mengenai hal tsb. Dalam pertimbangan MK, untuk menghindari keragu-raguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah karena belum adanya UU yang mengatur mengenai hal tersebut. Selain itu, pada Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan, “Perkara Perselisihan Penetapan Perolehan Suara Tahap Akhir Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus.”


 


 


Penulis: Utami Argawati.


Editor: Nur R.