17
JulSOCIOECOPRENEUR MBKM MANDIRI UNIVERSITAS IBA MAHASISWA MELAKUKAN PENGHITUNGAN KARBO DAN ORGANIK URBAN FARMING KONTRIBUSI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
Kegiata Dilaksankan
Pada Tanggal 30 Dan 31 Mei 2024
Program yang dicanangkan Kemendikbudristek dikenal dengan istilah Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM). Program ini, pada dasarnya, memberikan manfaat bagi mahasiswa. Sebab, program MBKM itu memberikan pengalaman dalam mengeksplore pengetahuan dan kemampuan mahasiswa, disamping itu mahasiswa belajar membangun dan memperluas jaringan, juga menimba ilmu secara langsung dari mitra berkualitas yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu mahasiswa. Dalam konteks ini, Universitas IBA menjalankan program MBKM MANDIRI UIBA SICIOECOPRENEUR. Adapun bentuk implementasi MBKM Mandiri, yakni; Perguruan Tinggi (PT) menyelenggarakan, mendanai, dan mengeksekusi program MBKM-nya tanpa intervensi dari Kemendikbudristek, sehingga PT dapat melaksanakan program yang diinginkan sesuai dengan ketentuan regulasi, pendanaan, linimasa, dan kebutuhan dokumentasi yang ditentukan sendiri.Tujuan MKBM mandiri adalah untuk memberikan pengalaman di luar kampus bagi mahasiswa demi persiapan karir di masa depan.
Istilah socioecopreneurboleh jadi masih terasa asing. Sebab, selama ini, sejak tahun 2020, universitas IBA dalam membangun karakter atau jiwa entrepreneur di kalangan mahasiswa lebih menekankan hubungannya dengan disiplin ilmu yang digelutinya, seperti legalpreneur (fakultas hukum), bisnispreneur (fakultas ekonomi), agripreneur (fakultas pertanian) dan technopreneur (fakultas tehnik). Namun, konsep ini belum terasa lengkap dalam keterhubungan intensionalitas mahasiswa terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) atau global goals yang mengedepan ancaman degradasi planet akibat kerusakan lingkungan, bahkan pola pertumbuhan dan perkembangan menjadi terhenti dan tidak berkelanjutan yang tentunya menimbulkan masalah sosial. Karena itu konsep socioecopreneur dapat membentuk karakter atau jiwa entrepreneur mahasiswa yang tidak hanya berorientasi profit, melainkan juga senantiasa menyadari dimensi sosial dan lingkungan.
Terkait dengan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang perlu disadari bersama bahwa konsep tersebut dicetuskan pertama kalinya oleh komisi Brundtland dalam laporan Our Common Future pada tahun 1987, yang juga dikenal sebagai global goals yang merupakan seruan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke semua negara di seluruh dunia untuk mengatasi tantangan besar yang dihadapi umat manusia. Kondisi ini telah dipotret oleh beberapa pemikir di dalam karyanya, diantaranya Rachel Carson dalam karyanya Silent Spring (1962), Garret Hardin dalam karyanya Tragedy of the Commons (1968), dan Limits to Growth (1972) karya pemikir Club of Rome. Tidaklah mengherankan kalau pembangunan berkelanjutan itu dirumuskan sebagai gagasan bahwa masyarakat manusia harus hidup dan memenuhi kebutuhan mereka tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam konteks ini, socioecopreneur dapat menjadi subyek pembangunan berkelanjutan yang mampu menjawabi tantangan umat manusia.
Dalam upaya mengembangkan karakter sociopreneur tersebut di kalangan mahasiswa Universtas IBA, maka kegiatan MBKM Mandiri Socioecopreneur Universitas IBA dalam bentuk pelatihan pembuatan pupuk kompos, tanaman organik dilahan sempit, pengolahan air bersih dan pelatihan menghitung karbon dan pelepasan oksigen (net O2 release). Pelatihan yang terakhir terkait dengan Isu perubahan iklim global yang telah menjadi isu nasional maupun internasional. Kenaikan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer bumi merupakan permasalahan dunia yang paling mengkhawatirkan saat ini. GRK terdiri dari gas-gas seperti Karbon Dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrogen Oksida (NO), Hidroflourokarbon (HCFC), Kloroflourokarbon (CFC) dan uap air (H2O). Sebagian besar GRK secara alami terbentuk melalui proses-proses alami seperti penguapan tubuh air di bumi (H2O), hasil respirasi hewan dan manusia (CO), dan proses dekomposisi bahan organik (CH). Kehadiran GRK sangat dibutuhkan untuk mempertahankan suhu bumi agar tetap hangat. Hal ini dimungkinkan karena GRK dapat memantulkan kembali energi panas dari sinar infra merah radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi ke atmosfer kembali ke bumi, sehingga sinar infra merah terperangkap di dalam atmosfer bumi. Namun peningkatan populasi manusia dan aktivitasnya meningkatkan konsentrasi GRK hingga melebihi ambang batas.
Untuk mengurangi emisi GRK, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan terbentuknya Program Kampung Iklim (Proklim) sejumlah 20.000 desa pada tahun 2024. Proklim adalah Gerakan Nasional Pengendalian Perubahan Iklim di Tingkat Tapak Berbasis Komunitas di Indonesia. Proklim merupakan program sinergi aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang berlingkup nasional guna meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain, untuk penguatan kapasitas adaptasi dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak lebih kurang 3.000 desa Proklim di seluruh Indonesia, melalui Proklim ini pemerintah mengajak semua individu masyarakat untuk bersama-sama menjadi pelopor dan penggerak gaya hidup bersih dan sehat di lingkungannya masing-masing. Kegiatan tersebut misalnya, hemat air, membuat resapan air, hemat listrik, membersihkan lingkungan sekitar, membersihkan got, menghijaukan lingkungan dengan menanam pohon dan lain lain.
Salah satu upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang didominasi oleh CO2 adalah dengan mempertahankan atau meningkatkan cadangan karbon dan meningkatkan populasi tanaman terutama tanaman pohon. RTH seyogyanya diperluas karena memiliki banyak manfaat, selain bisa menurunkan suhu perkotaan dengan adanya banyak pohon peneduh, RTH juga mengurangi emisi GRK dengan menyediakan udara bersih, juga menjadi area resapan air yang berfungsi untuk menyediakan air bersih dan meminimalkan risiko banjir. RTH juga dapat menjaga keberlangsungan ekosistem antara satwa, tanaman, dan manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang mengatur setiap kota dan kabupaten di Indonesia wajib memiliki ruang terbuka hijau atau RTH minimal 30 % dari luas kota. Palembang dengan luas wilayah sekitar 40.000 ha, setidaknya 10.756 ha dialokasikan untuk RTH. Nyatanya, luas RTH di Palembang kini hanya sekitar 3.645 ha atau mungkin sudah berkurang yakni hanya sekitar 10 %. Berkurangnya kawasan hijau di Palembang, terutama di kawasan tengah kota, karena kawasan yang dulunya RTH sudah berubah fungsi menjadi pusat perbelanjaan dan perumahan. Jika alih fungsi ini terus dibiarkan, emisi GRK akan terus meningkat berdampak pada ketidakseimbangan ekosistem dan berpotensi menciptakan beragam bencana ekologis, seperti banjir dan kekeringan. Universitas IBA yang terletak di tengah-tengah kota Palembang dengan luas areal sebesar 12,5 ha yang ditanami sejumlah jenis pepohonan juga berkontribusi terhadap pengurangan emisi GRK.
Demikian juga Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki luas kawasan hutan berkisar 3,3 juta hektar memiliki sumbangsih terhadap pengendalian perubahan iklim. Cadangan karbon yang telah diserap tanaman berupa kayu maupun tumbuhan bawah di kawasan hutan maupun karbon yang tidak dilepaskan dalam tumbuhan mati dan serasah perlu dilakukan pengukuran secara lengkap, akurat dan terukur. Hal ini diperlukan agar kita dapat mengetahui potensi karbon dalam rangka pengendalian perubahan iklim dan perdagangan karbon (carbon trade).
Kegiatan di laksanakan dengan metode magang di Kantor WALHI dan HAKI sumatera Selatan dilaksankan tanggal 3 Juni-26 Juli 2024. kegiatan ini dapat terlaksana berdasalakan pernjian MOU dan MOA antara Universitas IBA dengan Kantor WALHI dan HAKI sumatera Selata. Jumlah mahasiswa yang mengikuti kegiatan tersebut adalah 78 mahasiswa. Mahasiswa peserta di bagi menjadi dua bagian 40 Mahasiwa magang di kantor WALHI dan selebihnya magang di kantor Hutan Kita Institute (HAKI), selaian kegiatan magang juga dilakukanpenyuluhan ke desa pro Iklim di Sumatera Selatan oleh mahasiswa dan dengan didampingi oleh para dosen Universitas IBA .
Melalui program MBKM Mandiri “UIBA Socioecopreneur”, terutama pelatihan tehnik menghitung karbon, strategi mengurangi GRK, tanaman organik, pelatihan pengolahan airbersi dan lain lain, tentu diharapkan memberikan pengetahuan dan pengalaman bagi mahasiswa. Karena itu, partisipasi langsung mahasiswa dalam menghitung karbon dan juga mengedukasi masyarakat di kelurahan Selincah dan Kalidoni, terutama dalam pengendalian perubahan iklim pada program kampung iklim di kota Palembang. Yang pada gilirannya, diharapkan mampu menumbuhkan karakter socioecopreneur di kalangan mahasiswa Universitas IBA yang menjadi target dalam pelaksanaan MBKM Mandiri UIBA.